Tragedi yang ‘Terlupakan’ dalam Rentetan Menolak Lupa: Pemerkosaan Massal Mei 1998

HopeHelps UI
8 min readMay 29, 2023

--

Sudah genap 25 tahun silam Indonesia mengalami satu peristiwa yang berdampak besar dan sulit dilupakan, yaitu Tragedi Mei 1998 atau biasa dikenal sebagai Mei Berkabung. Peristiwa tersebut hingga kini masih menimbulkan luka berdarah bagi masyarakat Indonesia, terutama etnis Tionghoa yang banyak ditargetkan menjadi korban. Tragedi Mei 1998 dilatarbelakangi oleh kondisi politik perekonomian negara kala masa Orde Baru di mana terdapat kesulitan ekonomi domestik, tingkat inflasi yang tinggi, dan beban luar negeri yang sangat berat peninggalan pemerintahan Presiden Soekarno. Hal ini mengakibatkan munculnya krisis kepercayaan terhadap Presiden Soeharto sehingga terjadi aksi besar-besaran di Jakarta dan merambat ke daerah lainnya. Peristiwa ini membawa dampak buruk bagi bangsa Indonesia, terutama etnis Tionghoa yang menjadi target. Pada akhirnya, Presiden Soeharto digulingkan dari jabatannya sebagai presiden pada tanggal 21 Mei 1998 (Ginting et al, 2019).

Penindasan yang dilakukan kepada etnis Tionghoa sungguh memilukan. Banyak sekali pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi, di antaranya, terjadi pembunuhan, penculikan massal, penjarahan, dan pembakaran tempat tinggal mereka. Tidak hanya itu, perempuan Tionghoa pun juga dijadikan sasaran utama karena perempuan Tionghoa dianggap sebagai target yang lemah dan tidak bisa melawan sehingga menjadi kelompok yang rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan seksual, seperti pemerkosaan dan pelecehan seksual massal. Meskipun kejadian-kejadian ini sudah diakui Presiden B. J. Habibie dan diadvokasikan oleh berbagai gerakan perempuan, hingga kini, pengadilan HAM yang telah ada belum berhasil memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat pada tragedi ini. Bahkan, masih terhadap sentimen yang beredar bahwa hal tersebut merupakan rekayasa semata atau kejadian tersebut sudah saatnya dilupakan.

Interseksionalitas dan Unsur-Unsur yang Berperan

Penargetan perempuan etnis Tionghoa sebagai korban perkosaan bukan tanpa alasan. Interseksionalitas, yaitu persimpangan atau hubungan berbagai aspek yang membentuk identitas diri, berperan penting dalam peristiwa ini. Kekerasan terhadap perempuan Tionghoa pada Tragedi Mei 1998 merupakan bentuk interseksi antara identitas sosial gender, etnisitas, dan kelas sosial yang bergabung dan menciptakan keadaan yang mendorong mereka lebih rentan untuk menjadi korban dari kekerasan seksual (Tan, 2003). Oleh karena interseksi identitas tersebut, perempuan Tionghoa banyak menjadi korban perkosaan Mei 1998. Dalam konsep interseksionalitas, banyak kasus–termasuk perkosaan massal pada tragedi Mei 1998–memperlihatkan bagaimana serangan fisik yang mengarah pada perempuan merupakan manifestasi langsung dari subordinasi, atau penomorduaan kedudukan perempuan, yang terwujud dalam diskriminasi berlapis dari kerentanan ras, gender, dan sistem kelas yang menyerang mereka bertubi-tubi.

Dengan demikian, perkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa pada Tragedi Mei 1998 dapat dikatakan terjadi akibat kekerasan struktural terhadap masyarakat Tionghoa yang membuat posisi mereka kuat secara ekonomi, tetapi lemah secara sosial-politik sehingga masyarakat memiliki sentimen tersendiri terhadap mereka. Di waktu yang sama, terdapat pula ideologi gender negara dan budaya patriarki yang menempatkan perempuan pada posisi subordinasi dan melanggengkan objektifikasi atas tubuh perempuan. Gabungan aspek-aspek tersebutlah yang kemudian membuat perempuan Tionghoa menjadi target “empuk” atas amukan massa pada tragedi kerusuhan Mei 1998.

Lebih lanjut, interseksi yang melibatkan identitas ras korban pada kasus perkosaan Mei 1998 juga tidak terlepas dari rasisme terhadap etnis Tionghoa yang terjadi di Indonesia pada saat itu. Rasisme terlihat dari bagaimana kerusuhan — yang termasuk di dalamnya perkosaan terhadap perempuan Tionghoa — berakar pada ketidaksukaan masyarakat terhadap etnis tersebut karena keistimewaan yang dirasakan diberikan kepada para pebisnis Tionghoa oleh rezim Soeharto (Sarwono, 2015). Hal tersebut kemudian memunculkan stereotip, menumbuhkan kebencian, dan menyulut segala bentuk diskriminasi, termasuk perkosaan terhadap perempuan dari kelompok etnis tersebut (Anggraeni & Purwaningsih, 2022).

Di tengah situasi konflik itu, perempuan Tionghoa menjadi target kekerasan dengan cara yang paling “klasik” dalam sejarah, yaitu dengan perkosaan sebagai implementasi dari penargetan tubuh perempuan (Anggraeni & Purwaningsih, 2022). Dalam situasi konflik, sering kali perempuan dianggap sebagai objek seksual sekaligus sebagai lambang suatu bangsa atau etnis sehingga kekerasan seksual dimanifestasikan sebagai penghancuran bangsa atau etnis mereka (Rehatta, 2014). Dengan kata lain, dalam kerusuhan bulan Mei 1998, perempuan dipilih sebagai target utama perkosaan sebagai lambang penghancuran etnis Tionghoa itu sendiri (Anggraeni & Purwaningsih, 2022).

Pelanggaran Hak Asasi Perempuan

Penindasan hingga pemerkosaan pada Tragedi Mei 1998 sangat jelas merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi perempuan. Pasal 5 Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional mengatakan bahwa mahkamah mempunyai yurisdiksi sesuai dengan Statuta berkenaan dengan kejahatan-kejahatan berikut: (a) Kejahatan genosida; (b) Kejahatan terhadap kemanusiaan; © Kejahatan perang; dan (d) Kejahatan agresi (ELSAM, 2014). Menilik keempat kejahatan tersebut, Tragedi Mei 1998 masuk dalam kategori kejahatan terhadap kemanusiaan. Hal ini karena kerusuhan tersebut mengakibat penculikan, pelecehan seksual, hingga perkosaan kepada puluhan perempuan pada etnis tertentu. Maka dari itu, berdasarkan Statuta Roma, negara bertanggung jawab untuk melaksanakan yurisdiksi pidananya terhadap orang-orang yang bertanggung jawab atas kejahatan internasional tersebut.

Di sisi lain, Pasal 9 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Hal ini dapat berupa:

  1. pembunuhan;
  2. pemusnahan;
  3. perbudakan;
  4. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
  5. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
  6. penyiksaan;
  7. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
  8. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
  9. penghilangan orang secara paksa; atau
  10. kejahatan apartheid.

Kejahatan yang terjadi pada Tragedi Mei 1998 mulai menjadi perhatian. Pemerintah akhirnya membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan didapatkan fakta terkait kerusuhan yang terjadi hingga perkosaan pada perempuan etnis tertentu. Lalu, TGPF membuat 8 rekomendasi yang salah satunya ditindaklanjuti Komnas HAM dengan membentuk Tim Penyelidikan Pro-Justicia dugaan pelanggaran HAM berat. Pada 2003, Tim Penyelidikan Komnas HAM ini menyimpulkan adanya bukti permulaan yang cukup atas dugaan telah terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dalam Tragedi Mei sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU tentang Pengadilan HAM di atas (Komnas HAM RI, 2016). Dengan demikian, negara memiliki kewajiban untuk menuntaskan pelanggaran yang terjadi pada Tragedi Mei 1998.

Hak asasi perempuan yang ditelantarkan juga mencoreng amanat Pancasila dan UUD 1945. Bunyi “kemanusiaan yang adil dan beradab” tidak lagi bermakna jika perampasan hak asasi perempuan pada Tragedi Mei 1998 tak kunjung diselesaikan. Korban, keluarga yang ditinggalkan, dan masyarakat Indonesia tidak pernah tahu siapa yang bertanggung jawab atas Tragedi Mei yang telah merampas hak-hak asasi para korban, termasuk yang paling mendasar, yaitu hak untuk hidup (Komnas HAM RI, 2016). Vivi Widyawati, pegiat perlindungan perempuan, dalam diskusi “Akui Kasus Marsinah dan Perkosaan Mei 98 sebagai Kasus Pelanggaran HAM” memperingati 24 Tahun Tragedi Mei 1998 mengatakan bahwa “UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM sebenarnya sudah bisa cukup untuk digunakan mengusut dan menyelesaikan berbagai kasus HAM dan kekerasan pada perempuan, antara lain kasus Marsinah, kasus perkosaan saat Mei 1998, dan lainnya. Fakta ada, korban ada, tim pencari fakta juga menemukan terjadi pelanggaran HAM dan kekerasan pada perempuan” (Satriawan, 2022). Walaupun perlindungan hukum sudah ada, kenyataannya keadilan atas terpenuhinya hak-hak asasi masih juga dikesampingkan. Kasus kekerasan yang menimpa para korban menunjukkan bahwa Reformasi 1998 hanyalah kemenangan yang semu.

Apa yang Pernah Dilakukan?

Solidaritas terhadap korban kekerasan seksual di tengah kondisi genting Mei 1998 sempat berhasil mendorong Presiden B. J. Habibie untuk segera mendirikan TGPF dan Komnas Perempuan. Dalam temuannya, TGPF berhasil menemukan 85 orang yang telah menjadi korban kekerasan seksual yang di dalamnya termasuk 52 orang korban perkosaan, 14 orang korban pemerkosaan dengan penganiayaan, 10 orang korban penyerangan seksual, dan 9 orang korban pelecehan seksual. Sebagian besar korban kekerasan seksual ini merupakan perempuan dari etnis Tionghoa (Wibowo, 2023). Lebih lanjut lagi, seorang rohaniawan Katolik, Sandyawan Sumardi, membentuk sebuah Tim Relawan Kemanusiaan (TRK) dengan tekad mengadvokasikan keadilan bagi korban kemanusiaan Tragedi Mei 1998, termasuk upaya penyelamatan korban pemerkosaan dengan melibatkan berbagai tokoh-tokoh dari beragam latar belakang. Tim Relawan Kemanusiaan (TRK) ini menyatakan jumlah yang lebih besar yaitu sebanyak 152 kasus pemerkosaan, termasuk 20 korban meninggal yang sebagian besar korbannya merupakan perempuan Tionghoa (Rizal, 2023).

Penanganan kasus-kasus kekerasan seksual Tragedi Mei 1998 juga diselingi oleh tindak pembungkaman terhadap korban maupun pendamping yang dilakukan oleh petinggi aparat pada masa itu. Jenderal Wiranto yang pada saat itu menjabat sebagai Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) mengingkari fakta lapangan dengan bersikeras menyatakan bahwa selama kerusuhan Mei 1998 tidak ada satupun terjadi kasus pemerkosaan dan juga fakta terjadinya kekerasan seksual yang diklaim hanyalah pelecehan seksual ringan dan jumlahnya relatif sedikit (Tempo, 1998). Para aktivis perempuan yang pada waktu itu tergabung sebagai pendamping maupun relawan juga mendapatkan tuduhan bahwa apa yang mereka sampaikan merupakan kebohongan yang dapat mengotori nama baik negara (Azizah, 2022). Senada dengan itu, korban pun mendapatkan berbagai bentuk ancaman untuk tidak melaporkan atau menyampaikan kasusnya ke ruang publik.

Ita Martadinata, seorang perempuan Tionghoa penyintas pemerkosaan 1998 yang secara tragis dibunuh beberapa hari sebelum ia memberikan kesaksian di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), adalah bukti nyata akan adanya pembungkaman yang dilakukan dengan cara penghilangan nyawa. Menyedihkannya lagi, pemberitaan media yang pada saat itu justru cenderung tidak membicarakan pengalaman korban yang sesungguhnya, bahwa terbunuhnya Ita sarat akan kepentingan politik untuk menutupi kesaksian korban pelanggaran HAM di mata dunia internasional (Rizal, 2023). Pembungkaman sistemik yang demikian merupakan strategi untuk menciptakan rasa takut pada perempuan penyintas kekerasan seksual, terutama etnis Tionghoa, yang mengakibatkan para korban terus menutupi pengalaman kekerasan seksual yang pernah dialaminya.

Salah satu upaya yang dilakukan untuk memperoleh keadilan bagi korban adalah pengaduan Komnas HAM kepada Kejaksaan Agung, tetapi kenyataannya hingga sekarang Jaksa Agung sama sekali belum melakukan penyidikan atas kasus pemerkosaan Mei 1998 (Tempo, 2018). Andy Yentriyani, seorang Komisioner Komnas Perempuan, menuturkan bahwa terdapat dua hal yang menghambat penuntasan kasus ini. Pertama, beban pembuktian yang tidak berperspektif korban dan yang kedua adalah kultur yang kerap menyangkal pengalaman kekerasan seksual, bahkan penyangkalan atas kasus pemerkosaan Mei 1998 yang juga pernah dinyatakan oleh Panglima ABRI (Tuasikal, 2020). Hal tersebut mengisyaratkan absennya negara dalam mengupayakan penegakan hukum atas kasus pemerkosaan Mei 1998. Hal ini juga merupakan cerminan dari abainya negara dalam menjamin keadilan serta perlindungan atas hak asasi warga negaranya.

Menolak Lupa: Peringatan Tahun demi Tahun

Mei Berkabung pun menjadi sebuah pergerakan yang kian penting setiap tahunnya untuk terus mengingat catatan kelam kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan bulan Mei 1998 yang belum juga dituntaskan. Dalam menutup bulan Mei ini, perlu diingat bahwa keadilan bagi korban perkosaan massal tidak dapat luput dalam tuntutan bagi negara serta memori segenap bangsa. Demi mencapai keadilan bagi perempuan korban yang telah gugur serta yang masih terus melangkah, penanganan segala kasus kekerasan seksual dan pemulihan korban perlu disikapi dengan komitmen penuh dari setiap dari masyarakat dan negara.

DAFTAR PUSTAKA

Azizah, N. N. (2022, May 20). Mei 1998, Sejarah Hitam Perempuan Dalam Tragedi Perkosaan. Konde.co. Retrieved May 18, 2023, from https://www.konde.co/2022/05/mei-1998-sejarah-hitam-perempuan-dalam-tragedi-perkosaan.html/

Anggraeni, S. & Purwaningsih, S. M. (2022). Kekerasan terhadap Perempuan Etnis Tionghoa dalam Kerusuhan Mei 1998 DI Surabaya. AVATARA, 12(1).

Ginting, S. O. et al. (2019). Etnis Tionghoa pada Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, Retrieved May 19, 2023, from http://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?article=2426981&val=23207&title=Etnis%20Tionghoa%20pada%20Peristiwa%20Kerusuhan%20Mei%201998%20di%20Jakarta

Hikmawati, C. L. (2017). Opresi berlapis perempuan etnis Tionghoa: Pemerkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa dalam tragedi Mei 1998 di Jakarta. Jurnal Politik, 2(2), 1–28.

Rehatta, V. J. (2014). Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan di Daerah Konflik (Kajian Hukum Internasional dan Penerapannya di Indonesia). Sasi, 20(2), 53–63.

Rizal, J. G. (2023, May 16). Mengenang Ita Martadinata, Aktivis HAM 1998 yang Dibunuh Sebelum Bersaksi di PBB Halaman all. Kompas. Retrieved May 18, 2023, from https://www.kompas.com/cekfakta/read/2023/05/16/093600882/mengenang-ita-martadinata-aktivis-ham-1998-yang-dibunuh-sebelum?page=all

Sarwono, S. (2015). Book Review: Tragedi Mei 1998. Lahirnya KOMNAS Perempuan, written by Dewi Anggraeni. Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia, 171(1), 111–113.

Tan, M. G. (2003). Dimensi Sosial dan Kultural Kekerasan Berdasarkan Gender di Indonesia: Dari Penjulukan ke Diskriminasi ke Kekerasan. Antropologi Indonesia, 71. 46–63.

Tuasikal, R. (2020, May 18). Mungkinkah Perkosaan Mei 1998 Masuk ke Pengadilan? VOA Indonesia. Retrieved May 18, 2023, from https://www.voaindonesia.com/a/mungkinkah-perkosaan-mei-1998-masuk-ke-pengadilan-/5423717.html

Wibowo, E. A. (2023, May 15). Amnesty Minta Negara Tak Lupa Usut Kekerasan Seksual dalam Kerusuhan Mei 1998. Nasional Tempo. Retrieved May 18, 2023, from https://nasional.tempo.co/read/1726035/amnesty-minta-negara-tak-lupa-usut-kekerasan-seksual-dalam-kerusuhan-mei-1998

Wicaksono, P. (2018, May 13). Cerita Pemerkosaan, Kisah yang Lenyap dari Tragedi Mei 1998. Nasional Tempo. Retrieved May 18, 2023, from https://nasional.tempo.co/read/1088332/cerita-pemerkosaan-kisah-yang-lenyap-dari-tragedi-mei-1998

Wiranto dan Kekerasan Seksual — Kritik. (1998, October 19). Majalah TEMPO. Retrieved May 18, 2023, from https://majalah.tempo.co/read/kritik/96145/wiranto-dan-kekerasan-seksual

--

--

HopeHelps UI
HopeHelps UI

Written by HopeHelps UI

A part of @hopehelpsnet Pengada Layanan Tanggap dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Kampus UI 📩: advokasi.hopehelps@gmail.com Hotline: 0822 9978 8860

No responses yet